Dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan tekanan konsumtif, ada sebuah fenomena yang semakin banyak terjadi di kalangan generasi muda, terutama Gen Z dan Milenial. Fenomena ini disebut doom spending, yang menggambarkan perilaku belanja berlebihan yang dilakukan tanpa pertimbangan matang mengenai dampaknya.
Alih-alih meningkatkan kualitas hidup, perilaku ini justru bisa berujung pada kerugian finansial jangka panjang yang jauh lebih merusak daripada sekadar utang kredit.
Apa Itu Doom Spending?
Doom spending adalah pola belanja yang terjadi ketika seseorang menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka butuhkan atau tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
Berbeda dengan konsumsi yang direncanakan atau belanja yang berdasarkan prioritas, lebih sering dipicu oleh keinginan sesaat, tren sosial, atau bahkan stres.
Banyak orang yang terjebak dalam perilaku ini tanpa menyadari bahwa kebiasaan tersebut dapat membawa dampak buruk dalam jangka panjang.
Bagi generasi muda, terutama mereka yang tumbuh dalam era digital, fenomena ini menjadi semakin terlihat. Iklan yang terus-menerus mengalir melalui media sosial, promosi berlebihan dari influencer, dan tekanan untuk selalu tampil mengikuti tren dapat membuat seseorang terjebak dalam siklus ini.
Terlebih lagi, kemudahan berbelanja melalui platform online yang dapat dilakukan kapan saja membuat pengendalian diri semakin sulit.
Mengapa Doom Spending Lebih Berbahaya daripada Utang Kredit?
Ketika kita berbicara tentang utang kredit, banyak orang yang sudah terbiasa dengan konsep ini. Utang kredit yang digunakan dengan bijak bisa membantu dalam situasi darurat atau untuk investasi yang produktif.
Namun, ini bisa lebih berbahaya, karena dampaknya tidak hanya terkait dengan utang, tetapi juga mengganggu stabilitas emosional dan pola pikir seseorang.
1. Dampak Psikologis yang Lebih Dalam
Salah satu alasan utama mengapa doom spending lebih berbahaya daripada utang kredit adalah dampak psikologisnya. Seseorang yang terjebak dalam perilaku doom spending cenderung merasa terjebak dalam siklus konsumerisme yang tak berujung.
Ini bisa mengarah pada perasaan bersalah, kecemasan, dan stres akibat ketidakmampuan mengelola keuangan. Belanja berlebihan tidak hanya merusak kondisi finansial, tetapi juga bisa merusak harga diri seseorang, karena mereka merasa tidak mampu mengendalikan impuls untuk membeli barang-barang yang tidak perlu.
Sebaliknya, utang kredit, meskipun berisiko jika tidak dikelola dengan bijak, memiliki struktur yang lebih jelas. Ketika seseorang memutuskan untuk berutang, mereka cenderung memahami batasan jumlah yang harus dibayar kembali dan memiliki rencana untuk menuntaskan kewajiban tersebut.