Haidar menilai bahwa KUHAP selama ini telah mengatur pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan. Jika kejaksaan mengambil alih kewenangan penyidikan yang selama ini dipegang kepolisian, maka batasan antara lembaga penegak hukum menjadi semakin kabur. “Jika revisi ini disahkan, maka kejaksaan bukan hanya menyaingi KPK dalam perkara korupsi, tetapi juga mengambil alih kewenangan kepolisian dan kehakiman,” ungkapnya.
Gelombang Penolakan dari Publik
Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan oleh Haidar Alwi. Di dunia maya, gelombang penolakan terhadap revisi UU Kejaksaan dan KUHAP semakin meluas. Petisi online yang menolak penerapan asas dominus litis telah ditandatangani oleh hampir 40 ribu orang hingga sore ini.
Menurut Haidar, jika DPR dan pemerintah tetap bersikeras mengesahkan revisi ini tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, maka penolakan di dunia maya bisa menjelma menjadi aksi nyata. “Bila revisi ini disahkan secara diam-diam, kemarahan publik akan semakin memuncak,” ujarnya.
Sebagai catatan, enam tahun lalu, Indonesia telah mengalami gelombang demonstrasi besar-besaran akibat revisi UU KPK dan KUHP. Kala itu, ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak regulasi yang dianggap melemahkan KPK. Akibat bentrokan dengan aparat, terjadi kerusakan fasilitas umum, terganggunya stabilitas keamanan, serta jatuhnya korban luka dan jiwa.
“Kita tentu tidak ingin tragedi itu terulang. Mobilitas masyarakat terganggu, stabilitas keamanan terganggu, dan lebih parahnya lagi, korban jatuh dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Kita harus belajar dari pengalaman,” ujar Haidar.
Harapan untuk Regulasi yang Berkeadilan
Sebagai solusi, Haidar menekankan bahwa revisi UU Kejaksaan dan KUHAP seharusnya ditujukan untuk memperkuat transparansi dan kesetaraan dalam sistem peradilan pidana, bukan justru memperbesar dominasi satu institusi.
“Jika revisi ini benar-benar bertujuan memperbaiki sistem hukum, maka harus ada keseimbangan antara kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman. Bukan justru menciptakan lembaga superbody yang rentan disalahgunakan,” pungkasnya.
Dengan kontroversi yang terus berkembang, publik kini menanti langkah pemerintah dan DPR. Apakah revisi ini akan tetap dipaksakan atau justru dibuka ruang dialog yang lebih luas untuk memastikan keadilan hukum bagi semua pihak?