BeritaPolitik

Di Balik Undangan Bukber: Meritokrasi yang Tersandung Bayang-Bayang Kekuasaan

×

Di Balik Undangan Bukber: Meritokrasi yang Tersandung Bayang-Bayang Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

PLBNews – Senja itu perlahan tenggelam di ufuk barat NTB, pada 20 Maret 2025, membawa bersama redupnya cahaya sebuah peristiwa kecil di Pendopo Tengah Gubernur. Buka puasa bersama—atau yang kita sebut bukber—digelar. Di permukaan, ini adalah ritus tahunan, sebuah jeda lembut di tengah Ramadan untuk menyatukan hati dalam doa dan hidangan sederhana: kurma, kolak, mungkin secuil harapan. Tapi di balik meja-meja yang tersaji, di antara aroma manis yang menguar, ada bisikan lain yang tak kunjung padam. Dua laporan berita, satu dari Radar Lombok dan satu lagi dari situs resmi Pemprov NTB, menjadi pintu masuk ke sebuah cerita yang lebih dalam. Di sana, kita melihat visi mulia Gubernur Lalu Muhamad Iqbal untuk membangun meritokrasi, namun juga bayang-bayang oknum yang bermain di balik undangan, mencoba mencuri panggung dari niat baik itu.

Iqbal datang dengan janji yang tak biasa bagi NTB: sebuah birokrasi yang berdiri di atas meritokrasi. Bukan lagi jabatan sebagai hadiah untuk loyalitas buta atau imbalan politik yang terselubung, melainkan penghargaan untuk mereka yang bekerja, yang berprestasi, yang mampu membawa NTB melangkah lebih jauh. Ini adalah mimpi yang rapuh namun indah, sebuah harapan untuk memutus lingkaran patronase yang telah lama mengikat provinsi ini. Di bawah langit NTB yang luas, dari pantai-pantai Mandalika yang gemerlap hingga desa-desa terpencil di kaki Rinjani, rakyat menanti bukti bahwa kekuasaan bisa melayani, bukan sekadar mengatur. Tapi, seperti yang kita tahu, setiap niat baik selalu punya musuh—dan musuh itu kini tampak bersemayam dalam drama kecil undangan bukber.

Radar Lombok menulis dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kecurigaan. Daftar tamu awal untuk acara itu, katanya, tak mencakup semua kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Nama-nama seperti Ahsanul Khalik dari Dinas Sosial, Aidy Furqan dari Dinas Pendidikan, hingga Hendra dari Biro Umum hilang dari daftar pertama. Baru setelah revisi—bukan sekali, tetapi dua kali—Pemprov mengklaim bahwa semua kepala OPD diundang. Revisi berulang ini bukan sekadar cerita tentang kertas dan tinta yang salah cetak. Ada aroma lain di sini, aroma politik yang samar namun menyengat. Sumber anonim dari dalam birokrasi berbisik tentang “kepanikan” menjelang mutasi perdana di era Iqbal dan Wagub Indah Dhamayanti Putri. “Kami harap-harap cemas,” kata mereka. Dan di balik bisikan itu, muncul dugaan: ada oknum yang sengaja mengutak-atik undangan, mungkin untuk mengirim sinyal, mungkin untuk memengaruhi peta kekuasaan yang seharusnya ditata dengan adil.

Penulis: H Balya