Sementara itu, situs resmi ntbprov.go.id mencoba merajut narasi yang lebih teratur, lebih lembut. Mereka menyebut bukber itu sebagai “upaya membangun koordinasi,” sebuah jembatan untuk menyatukan Pemprov dengan instansi vertikal—Otoritas Jasa Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Bank Indonesia. Dalam kalimat-kalimat yang tersusun rapi itu, ada kesan bahwa semua baik-baik saja, bahwa acara ini hanyalah tradisi tahunan tanpa noda. Tapi cermin kebenaran tak bisa dibohongi. Jika ini benar-benar soal harmoni, mengapa daftar tamu harus diperbaiki berkali-kali? Mengapa ada jejak tergesa dalam langkah reaktif itu? Sepertinya, ada tangan-tangan tersembunyi—oknum yang tak rela visi meritokrasi Iqbal berjalan mulus—.
Bukber itu, yang seharusnya penuh dengan doa dan kehangatan, kini menjadi panggung kecil dari permainan besar. Oknum-oknum ini, yang mungkin takut kehilangan pengaruh di tengah perubahan yang diusung Iqbal, tampaknya sedang menguji batas. Revisi undangan bukan lagi soal administrasi yang ceroboh; ia adalah tanda bahwa ada yang ingin mengganggu, ada yang ingin mempertahankan cara lama di mana kekuasaan dibagi seperti kue, bukan diperoleh melalui kerja keras. Dalam bayang-bayang itu, kita melihat ironi: sebuah acara untuk menyatukan hati malah memperlihatkan retakan dalam birokrasi, sebuah retakan yang bisa melebar jika tak segera ditutup.
Dan dampaknya tak bisa diabaikan. Jika sebuah bukber saja bisa dipolitisasi oleh oknum, bagaimana kita bisa percaya bahwa keputusan-keputusan besar—mutasi jabatan, alokasi anggaran, proyek pembangunan—akan lahir dari niat yang murni? NTB bukan provinsi yang punya waktu untuk bermain-main. Di tengah upaya mengejar ketertinggalan, membangun citra pariwisata, dan menjawab keluh kesah rakyat yang kian lelah menanti, birokrasi yang terganggu adalah beban yang terlalu berat. Visi meritokrasi Iqbal, yang bisa menjadi fondasi bagi perubahan nyata, kini terancam oleh mereka yang lebih suka berlindung di balik bayang-bayang, memainkan pion-pion mereka dalam daftar undangan.
Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Gubernur Iqbal masih punya ruang untuk membuktikan bahwa ia lebih besar dari intrik ini. Jika mutasi memang akan digulirkan, lakukanlah dengan terang benderang—tanpa bayang-bayang, tanpa permainan nama di kertas undangan. Tunjukkan bahwa meritokrasi bukan sekadar janji kosong, melainkan langkah nyata untuk membawa NTB ke arah yang lebih baik. Kepada oknum-oknum yang bermain, waktu akan menjadi hakim yang tak bisa disuap. Mereka mungkin menang dalam ronde kecil ini, tapi Iqbal punya kesempatan untuk memenangkan pertempuran besar—jika ia teguh, jika ia tak goyah.