Dan lalu, ada rakyat—mereka yang duduk di luar pendopo, yang tak diundang, yang hanya mendengar cerita ini sebagai bisikan angin di pasar atau warung kopi. Mereka adalah alasan sebenarnya mengapa meritokrasi itu penting. Bagi mereka, birokrasi bukan soal nama-nama di daftar tamu, melainkan soal jalan yang diperbaiki, sekolah yang layak, dan harapan yang tak lagi ditunda. Mereka menanti Iqbal untuk menepati janjinya, menanti NTB Makmur Mendunia. Dukung dia, karena reformasi ini bukan milik satu orang, melainkan milik kita semua.
Acara bukber itu telah usai. Lampu-lampu di pendopo telah padam, sisa-sisa kolak telah dibersihkan. Tapi cerita di baliknya baru saja membuka babak pertama. Waktu akan terus berjalan, membawa jawaban yang tak bisa dielakkan: akankah meritokrasi bertahan, atau akankah bayang-bayang oknum ini terus mengintai, menanti kesempatan untuk mencuri lagi? Di bawah langit NTB yang diam, pertanyaan itu menggantung—dan kita semua adalah saksinya.