“Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi dan barang bukti, sementara ini baru Satu tersangka dengan inisial SE selaku direktur PT. SHC,” tegasnya.
Modus yang digunakan SE yakni melakukan impor bahan kimia berbahaya itu dari Cina menggunakan dokumen perusahaan lain, yaitu perusahaan pertambangan emas yang tidak berproduksi.
Dalam penyidikan terungkap tersangka beroperasi selama kurang lebih satu tahun, dengan total telah mengimpor sebanyak kurang lebih 494,4 ton (9.888 drum) sianida.
SE terbukti memperdagangkan sianida itu tanpa ijin usaha, untuk bahan kimia berbahaya tersebut.
Informasi yang diterima Polisi, para pihak yang membeli sianida dari tersangka ini diduga para penambang emas ilegal yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Menurut Brigjend Pol Nunung dalam pengirimannya dilakukan dengan melepas label merek pada drum.
“Hal itu dilakukan pelaku dengan tujuan menghilangkan jejak terhadap pendistribusian sianida, yang tidak boleh diperdagangkan kembali,” paparnya.
Dari bisnis ini, SE telah memiliki puluhan pelanggan tetap dengan jumlah pengiriman rata-rata 100-200 drum dalam satu kali pengiriman, dengan harga Rp 6 juta untuk masing-masing drumnya.
Masih kata Brigjend Pol Nunung, tidak menutup kemungkinan ada pihak lain dari internal ataupun eksternal perusahaan ini, atau yang berkaitan dengan proses masuk barang ini dari luar negeri.
“Ini terus kita dalami, jadi masih ada peluang penambahan tersangka,” jelasnya.
Sementara itu, omzet dari perdagangan gelap sianida ini mencapai miliaran rupiah dalam kurun waktu satu tahun beroperasi.
Hasil pemeriksaan, omzet selama satu tahun dari 2024-2025 ada 9.888 drum diimpor sebanyak 7 kali.
“Dalam kurun waktu tersebut, omzet yang kita sita Rp 59 miliar dengan estimasi harga per-drumnya Rp 6 juta,” terangnya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat menggunakan Pasal 24 ayat (1) Juncto Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 10 miliar, dan atau Pasal 8 ayat (1) huruf a, e, dan f Juncto Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.