Jakarta, 20 Mei 2025 — “Kita menghadapi penjajahan baru yang tak berbentuk senapan, tapi berupa algoritma. Bahaya kecerdasan buatan (AI) bukan pada kecepatannya, tetapi pada kekosongan etik yang menyertainya,” tegas Prof. Dedi Prasetyo, Guru Besar Hukum dan Etika Teknologi dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).
Menurutnya, Hari Kebangkitan Nasional tahun ini harus dimaknai secara baru. “Jika dulu kita bangkit melawan kolonialisme, hari ini kita harus bangkit untuk menyelamatkan kemanusiaan dari euforia teknologi yang kehilangan arah. Kita sedang membiarkan mesin mengambil alih akal, hati, bahkan keadilan,” ujar Dedi.
Ia menyoroti kasus-kasus aktual seperti penggunaan alat AI “Cybercheck” dalam ribuan perkara hukum di Amerika Serikat, termasuk kasus pria di Ohio yang divonis penjara seumur hidup hanya berdasarkan hasil skor risiko yang diberikan sistem. “Tidak ada saksi, tidak ada bukti fisik, hanya algoritma. Ini sangat berbahaya dan tidak boleh terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Dedi juga menyinggung soal victim impact statement yang ditulis oleh AI dalam sidang pidana pembunuhan di Arizona, Amerika Serikat. “Ketika AI menulis pernyataan atas nama korban yang telah meninggal, kita harus bertanya — siapa yang sebenarnya berbicara? Apakah kita masih manusia, atau hanya operator bagi program-program prediktif yang dingin dan tak punya nurani?”
Bangkit Sebagai Manusia, Bukan Sekadar Pengguna Teknologi
Devie Rahmawati, pegiat literasi digital dari Universitas Indonesia dan penerima sejumlah penghargaan internasional dalam bidang literasi digital, memperingatkan bahwa dominasi AI dalam kehidupan pribadi sudah sangat mengkhawatirkan.
“Ketika 80% Gen Z bersedia menikah dengan AI, itu bukan sekadar tren—itu sinyal bahwa kita sedang kehilangan kepercayaan pada relasi manusiawi,” ungkap Devie, merujuk pada studi yang dipublikasikan oleh Forbes April lalu. Ia menyebut bahwa keterhubungan palsu yang ditawarkan AI, terutama lewat chatbot seperti Character.ai, justru menjauhkan anak muda dari kedalaman hubungan yang nyata.
Kasus remaja Florida yang bunuh diri setelah menjalin ‘hubungan emosional’ dengan chatbot AI menjadi pelajaran pahit. “AI tidak punya jiwa. Tapi kita justru memperlakukannya seolah-olah ia memiliki empati. Inilah titik krisis kemanusiaan kita,” ujar Devie, associate professor program Vokasi UI.
Devie juga mengangkat fenomena viral yang terjadi di Yunani, ketika seorang istri menceraikan suaminya hanya karena ChatGPT ‘memprediksi’ perselingkuhan lewat interpretasi pola ampas kopi. “Teknologi sudah menjadi nabi digital. Dan masyarakat mulai mempercayainya lebih dari logika dan dialog,” katanya prihatin.