3. Menjamin independensi Polri dari kepentingan politik maupun kelompok tertentu.
“Penempatan di bawah Presiden menjaga Polri tetap independen, tidak terseret arus kepentingan politik praktis,” katanya.
4. Memberikan ruang bagi Polri untuk menentukan kebijakan strategis dalam menghadapi dinamika keamanan yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi.
5. Mempercepat penegakan hukum tanpa birokrasi panjang, khususnya pada kasus-kasus kriminal strategis.
6. Meningkatkan kepercayaan masyarakat karena Polri dipandang sebagai institusi yang netral dan tidak partisan.
7. Memperkuat koordinasi lintas lembaga, khususnya dengan TNI, Kemendagri, dan instansi lainnya.
Munculnya wacana menempatkan Polri di bawah kementerian dinilai sebagai langkah mundur.
“Dalam sejarah panjangnya, ketika Polri berada di bawah departemen atau bagian dari struktur lain seperti ABRI, Polri sering mengalami intervensi kekuasaan dan politik. Hal itu menghambat profesionalisme, soliditas, dan kemandirian Polri,” tegas Prof. Pantja.
Ia mengingatkan bahwa perjalanan reformasi telah membawa Polri menjadi institusi yang mandiri dan profesional, sehingga perubahan struktur justru berpotensi menggerus capaian tersebut.
Di bagian penutup argumennya, Prof. Pantja menegaskan:
“Secara konstitusional, historis, dan teoritis, keberadaan Polri sebagai alat negara yang berada langsung di bawah Presiden selaku Kepala Negara adalah yang paling tepat dan beralasan. Penempatan ini menjamin efektivitas, independensi, dan profesionalitas Polri dalam menjaga keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum di seluruh wilayah Indonesia.”
Dengan demikian, kedudukan Polri di bawah Presiden—yang saat ini dijabat oleh Presiden Prabowo Subianto—merupakan bagian integral dari desain ketatanegaraan Indonesia yang harus dipertahankan demi stabilitas keamanan nasional serta kepentingan masyarakat luas.













