Kuripan Selatan,Lombok Barat – sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lombok Barat, kini menjadi sorotan terkait pengelolaan program RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa) dan beberapa aset desa, salah satunya adalah Gedung SORGA (Sarana Olahraga Desa). Meski telah dialokasikan anggaran besar, pengelolaan dan pemanfaatan gedung serta program BUMDes menuai kritikan dari masyarakat setempat, termasuk dari warga setempat. Minggu, 9 Februari 2025
Gedung SORGA yang dibangun menggunakan anggaran lebih dari Rp800 juta menjadi pusat perhatian setelah selesai dibangun. Sayangnya, gedung ini justru terkesan terbengkalai dan tidak digunakan sesuai dengan tujuan semula sebagai sarana olahraga untuk masyarakat.
Menurut warga setempat, sebut saja TY salah satu dari warga setempat yang ada di wilayah Desa Kuripan Selatan, kualitas gedung, spesifikasi, maupun pengelolaan anggaran dalam proses pembangunannya perlu dipertanyakan. Padahal, gedung tersebut diharapkan mampu menjadi wadah bagi masyarakat untuk berolahraga dan aktivitas lain yang mendukung perkembangan potensi desa. Namun, pasca-pembangunan, gedung ini tidak dirawat, dan instansi desa terkait seolah membiarkan kondisi tersebut.
“BUMDes sebagai pengelola gedung justru membiarkan fasilitas tersebut tak terurus. Artinya, BUMDes belum mampu mengelola aset desa yang menelan anggaran begitu besar. Sayangnya, kepala desa seperti membiarkan hal ini terjadi,” ujar TY.
Masalah tidak hanya berada pada Gedung SORGA. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kuripan Selatan juga memicu kontroversi. Beberapa poin penting yang menjadi sorotan TY adalah sebagai berikut:
TY mengkritik struktur kepengurusan BUMDes yang dianggap tidak sehat karena dimonopoli oleh satu keluarga. “Dalam kepengurusan BUMDes ada dua orang bersaudara. Ini terkesan kurang transparan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan BUMDes,” ujarnya.
Program kerja BUMDes berupa perkreditan barang dinilai tidak transparan. Berdasarkan catatan, sebagian besar peminjam barang berasal dari kalangan staf desa dan keluarga staf desa, bukan masyarakat umum. Kondisi ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan.
TY juga menyoroti bahwa dalam pengambilan keputusan program kerja, pengurus BUMDes tidak pernah melibatkan pengawas BUMDes. Padahal, pengawas memiliki peran penting untuk memastikan setiap program yang dijalankan sesuai aturan, transparan, dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat umum.
Beberapa program kerja BUMDes mengalami kegagalan tanpa adanya pertanggungjawaban yang jelas. Contoh nyata adalah program PAMDes (Pengelolaan Air Desa), yang tidak mampu menjadi solusi saat musim kemarau, serta program ternak bebek yang justru mengalami kerugian hingga kini tidak ada transparansi mengenai penyebab maupun langkah penyelesaiannya.