Opini

Seleksi BAZNAS NTB: Cermin Meritokrasi di Malam Lailatul Qadar

×

Seleksi BAZNAS NTB: Cermin Meritokrasi di Malam Lailatul Qadar

Sebarkan artikel ini

Iqbal sendiri tampaknya memahami taruhan ini. Ia meminta tim seleksi berjalan transparan, sebuah pengakuan tersirat bahwa ada tangan-tangan tak terlihat oknum-oknum dari masa lalu yang siap mencampuri, siap merenggut harapan itu dari genggaman rakyat.

Di balik seleksi ini terbentang potensi yang luas, sebuah harta yang terpampang di depan mata: zakat NTB yang diperkirakan mencapai Rp2,8 triliun per tahun. Angka itu menggoda, seperti janji hujan yang deras di musim kemarau panjang, seperti oase yang memanggil di tengah gurun tandus.

Jika dikelola dengan tepat, dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang jernih, zakat ini bisa menjadi tangga bagi mereka yang terjebak dalam kemiskinan, sebuah jalan keluar dari lorong gelap kehidupan, sebuah nafas bagi mereka yang tercekik oleh hari-hari yang tak pernah ramah. Bayangkan: anak-anak yang lapar bisa makan, ibu-ibu yang tak punya atap bisa berteduh, dan para petani yang tanahnya kering bisa kembali tersenyum.

Tapi, seperti Lailatul Qadar yang tersembunyi dalam rahasia Ilahi, potensi ini belum sepenuhnya terwujud. Sistem pengumpulannya masih pincang, seperti tubuh yang kehilangan keseimbangan. Distribusinya masih dipenuhi tanda tanya: sampaikah zakat itu kepada yang benar-benar membutuhkan yang telanjang, yang kelaparan, yang tak punya harapan? Atau ia hanya menjadi deretan angka dalam laporan tahunan, trofi yang dipamerkan tanpa jiwa, hiasan kosong yang tak menyentuh kehidupan?

Iqbal berbicara tentang “jurus baru” dalam pengelolaan zakat, sebuah istilah yang menggantung misterius di udara, belum terucap jelas, belum terlihat bentuknya. Apakah itu sistem yang lebih modern, teknologi yang mempermudah transparansi, atau cara baru untuk memastikan zakat sampai ke tangan yang tepat? Kita belum tahu. Yang jelas, seleksi komisioner BAZNAS adalah langkah awal untuk mewujudkan janji itu.

Komisioner yang terpilih akan menjadi ujung tombak, mereka yang menentukan apakah zakat NTB akan tetap menjadi angka mati di atas kertas, atau menjadi denyut kehidupan bagi rakyat kecil.

Jika kursi-kursi itu jatuh ke tangan yang salah kepada mereka yang hanya pandai berbicara manis atau yang tenggelam dalam kepentingan pribadi maka mimpi meritokrasi Iqbal akan lenyap, seperti doa yang terucap di malam biasa, tak pernah sampai ke langit.

Sebaliknya, jika ia berhasil menempatkan orang-orang yang punya visi, yang mengerti bahwa zakat adalah amanah Ilahi dan bukan alat politik, maka BAZNAS NTB bisa menjadi mercusuar. Sebuah teladan bahwa pemerintahan bisa melayani dengan hati, bahwa keadilan sosial bukan sekadar dongeng.