Lombok Barat, Portal Lintas Berita – Kebijakan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menggunakan sistem barcode menuai keluhan dari masyarakat bawah. Di Desa Kuripan Selatan, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat. para pedagang kecil yang selama ini menjual bensin eceran kini merasa semakin ditekan oleh kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Hanan Wahyuda, pemuda pemerhati masyarakat Desa Kuripan Selatan, menyoroti kebijakan tersebut sebagai bentuk ironi dari negara yang mengklaim pro-rakyat kecil.
“Ironi kembali terjadi di negeri yang katanya pro-rakyat kecil. Para pedagang eceran minyak yang setiap hari berjibaku di lapak-lapak pinggir jalan, kini dipaksa berhadapan dengan birokrasi absurd, beli bensin saja harus membuat barcode terlebih dahulu,” tegas Hanan, kepada Portal Lintas Berita, Jumat, 1 Agustus 2025.
Menurutnya, digitalisasi pembelian BBM justru semakin mempersulit kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dan pemahaman teknologi.
“Kebijakan digitalisasi pembelian BBM yang katanya bertujuan ‘tertib administrasi dan transparansi’ ini justru menampar wajah pedagang kecil,” tambahnya.
Senada dengan itu, Uci, salah satu pedagang minyak eceran di Desa Kuripan, mengaku kesulitan menjalankan usahanya karena syarat teknis pembuatan barcode yang tidak ramah terhadap warga desa.
“Syarat membuat barcode itu rumit, kami ini orang kecil yang tidak punya HP canggih atau internet. Bukannya membantu, ini malah seperti jerat baru bagi kami,” kata Uci penuh kecewa.
Uci juga menyebut ketimpangan layanan di SPBU yang dinilainya tidak adil. “Mobil-mobil mewah tetap bisa isi tanpa hambatan, sementara kami malah dimintai barcode dan ditolak. Di mana keadilan untuk rakyat kecil?” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dusun Kuripan Selatan, Nawa Hasan, turut mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak peka terhadap realitas masyarakat.
“Kebijakan ini menegaskan bahwa penguasa lebih sibuk mengurusi administrasi daripada mendengar jeritan rakyat di bawah,” kata Nawa.
Ia juga menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam menerapkan sistem digitalisasi, tanpa kesiapan infrastruktur dan literasi yang merata.
“Alih-alih membangun sistem yang inklusif dan ramah bagi pelaku usaha kecil, pemerintah justru berlindung di balik jargon digitalisasi yang belum siap diimplementasikan untuk semua lapisan. Sampai kapan birokrasi membunuh pedagang kecil perlahan? Rakyat butuh solusi, bukan aturan yang semakin mempersulit hidup mereka,” tutup Nawa Hasan.