plbnews.web.id – Di dunia kerja yang penuh tantangan dan tuntutan, berpikir positif sering kali dianggap sebagai kunci untuk mengatasi stres dan mencapai kesuksesan. Ungkapan seperti “Selalu ada sisi baiknya,” “Tetap semangat!” atau “Pikirkan yang positif!” sering terdengar di ruang kantor.
Namun, ada sisi gelap dari kebiasaan ini yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental—terutama bila diharapkan secara berlebihan atau dipaksakan. Fenomena ini dikenal dengan istilah toxic positivity, atau positivitas beracun.
Toxic positivity mengacu pada situasi di mana orang-orang di sekitar Anda mendorong untuk selalu berpikir positif, meskipun kenyataannya Anda sedang menghadapi tantangan atau kesulitan.
Dalam konteks lingkungan kerja, hal ini dapat merusak kesehatan mental, memperburuk stres, dan menciptakan rasa kesepian atau terisolasi.
Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang fenomena toxic positivity, mengapa hal ini bisa berbahaya, serta cara menghadapinya agar Anda bisa menjaga keseimbangan emosional di tempat kerja.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah suatu kondisi di mana ada tekanan untuk selalu menampilkan sikap positif, bahkan ketika situasi yang dihadapi tidak mendukung untuk itu.
Alih-alih memberikan ruang bagi individu untuk merasakan atau mengakui emosi negatif yang mereka alami, konsep ini mengabaikan perasaan-perasaan tersebut dengan mendorong untuk “berpikir positif” atau “move on” tanpa memberikan kesempatan untuk proses pemulihan emosional.
Di dunia kerja, toxic positivity bisa muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, saat seorang karyawan mengungkapkan rasa cemas atau frustrasi karena beban pekerjaan yang terlalu berat, reaksi yang diterima bisa berupa:
- “Jangan khawatir, ini hanya fase sementara.”
- “Cobalah untuk lebih bersyukur, ada banyak orang yang lebih buruk kondisinya.”
- “Pikirkan hal positif, ini akan berlalu.”
Meskipun niat dari kata-kata tersebut mungkin baik, mereka sering kali mengabaikan kenyataan dan menekan perasaan yang sah.
Toxic positivity tidak memberikan ruang untuk proses emosi yang sehat, malah sering kali membuat individu merasa tidak diperhatikan atau dianggap lemah karena mengungkapkan perasaan mereka.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Berpikir positif memang memiliki manfaat dalam konteks tertentu, seperti untuk meningkatkan semangat atau menjaga perspektif yang sehat. Namun, jika dipaksakan dalam situasi yang tidak tepat, toxic positivity justru bisa menambah tekanan.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa fenomena ini dapat berbahaya bagi kesehatan mental di lingkungan kerja:
1. Menekan Emosi Negatif
Salah satu masalah terbesar dari toxic positivity adalah bahwa ia menekan emosi negatif, padahal perasaan seperti stres, kecemasan, atau frustrasi adalah bagian dari pengalaman manusia yang normal, terutama di tempat kerja yang penuh tekanan.
Mengabaikan atau menutupi perasaan ini justru dapat memperburuk kondisi mental seseorang. Jika seseorang dipaksa untuk terus-menerus berpikir positif tanpa ada ruang untuk merasakan dan memproses perasaan negatif, ini dapat menyebabkan stres yang lebih tinggi, burnout, atau depresi.
2. Meningkatkan Perasaan Isolasi
Toxic positivity sering kali membuat orang merasa bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk merasa kesulitan atau lelah. Hal ini dapat menciptakan perasaan isolasi, di mana karyawan merasa bahwa mereka satu-satunya yang mengalami kesulitan, sementara rekan kerja atau atasan mereka tampak selalu bahagia dan optimis.
Ketidakmampuan untuk berbagi pengalaman emosional yang jujur dapat memperburuk rasa kesepian di tempat kerja.
3. Mengabaikan Solusi Nyata
Ketika seseorang diminta untuk “tetap positif” tanpa melihat akar masalah yang dihadapi, solusi nyata untuk masalah tersebut bisa terabaikan. Misalnya, jika seorang karyawan mengalami beban kerja yang berlebihan dan mereka hanya diberi nasihat untuk berpikir positif, maka masalah beban kerja tersebut tidak akan terselesaikan.
Sebaliknya, ketika perusahaan atau tim merespon masalah dengan pendekatan yang lebih realistis dan empatik, mereka dapat mencari solusi yang lebih efektif, baik dalam hal manajemen tugas atau dukungan emosional.
4. Mengurangi Kepercayaan pada Kepemimpinan
Di lingkungan kerja, toxic positivity juga dapat merusak hubungan antara karyawan dan manajemen. Jika atasan terlalu sering mendorong untuk berpikir positif tanpa mempertimbangkan tantangan nyata yang dihadapi karyawan, hal ini bisa mengurangi rasa kepercayaan karyawan terhadap kepemimpinan.
Karyawan mungkin merasa bahwa mereka tidak didengar atau dipahami, yang dapat berdampak buruk pada moral dan produktivitas tim.
Dampak Toxic Positivity pada Kesehatan Mental Karyawan
Dampak toxic positivity terhadap kesehatan mental karyawan sangat signifikan. Beberapa dampak yang dapat timbul adalah sebagai berikut:
1. Burnout
Burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan emosional yang terjadi akibat stres kronis. Toxic positivity yang memaksa karyawan untuk terus berpikir positif meskipun mereka merasa lelah atau tertekan dapat memperburuk kondisi burnout.
Bukannya mendapatkan dukungan yang dibutuhkan, karyawan justru merasa tertekan untuk tetap tampil kuat dan tidak mengakui keterbatasan mereka.
2. Kecemasan dan Depresi
Memaksa seseorang untuk selalu berpikir positif bisa menyebabkan perasaan cemas karena mereka merasa tertekan untuk selalu terlihat baik-baik saja.
Karyawan yang merasa bahwa perasaan negatif mereka tidak diterima bisa mengembangkan perasaan tidak cukup baik atau bahkan merasa gagal dalam menghadapi tantangan.
Ini bisa berujung pada kecemasan atau depresi, dua kondisi yang dapat mempengaruhi kinerja dan kualitas hidup secara keseluruhan.
3. Penurunan Keterlibatan Karyawan
Ketika karyawan merasa tidak didengar atau dihargai karena perasaan mereka tidak diterima, keterlibatan mereka dalam pekerjaan bisa menurun.
Mereka mungkin kehilangan motivasi untuk memberikan yang terbaik karena merasa bahwa lingkungan kerja mereka tidak mendukung kesejahteraan emosional mereka.
Cara Menghadapi dan Mengatasi Toxic Positivity di Tempat Kerja
Agar toxic positivity tidak merusak kesehatan mental karyawan, perusahaan dan individu perlu menerapkan pendekatan yang lebih sehat dan realistis dalam menghadapi perasaan dan tantangan yang muncul di lingkungan kerja. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Menghargai Perasaan Negatif
Alih-alih menekan atau mengabaikan perasaan negatif, penting untuk memberikan ruang bagi karyawan untuk mengungkapkan dan memproses perasaan mereka.
Hal ini dapat dilakukan dengan mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan yang diperlukan tanpa merasa perlu untuk segera memberikan solusi atau nasehat yang tidak diminta.
2. Menciptakan Budaya Keterbukaan
Budaya perusahaan yang terbuka dan mendukung dapat membantu mengurangi toxic positivity. Dengan menciptakan ruang di mana karyawan merasa aman untuk berbicara tentang tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Ini juga dapat membantu meningkatkan kolaborasi dan saling pengertian antara karyawan dan manajemen.
3. Menerapkan Pendekatan Solutif
Daripada hanya mendorong karyawan untuk berpikir positif, perusahaan harus lebih fokus pada solusi nyata. Misalnya, jika ada masalah terkait beban kerja yang berlebihan, diskusi dan perencanaan ulang tugas dapat membantu mengurangi stres.
Mengidentifikasi akar masalah dan memberikan dukungan yang sesuai akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar memberikan motivasi tanpa solusi.
4. Mendidik tentang Kesehatan Mental
Penting bagi perusahaan untuk memberikan pendidikan dan sumber daya mengenai kesehatan mental kepada karyawan. Menyediakan akses ke konseling atau pelatihan keterampilan pengelolaan stres bisa membantu karyawan untuk mengelola tantangan mereka dengan cara yang lebih sehat.
Toxic positivity, meskipun terlihat sebagai cara untuk mempertahankan semangat dan optimisme, sebenarnya dapat memiliki dampak buruk yang signifikan bagi kesehatan mental karyawan.
Mengakui bahwa tidak semua hari di tempat kerja akan penuh dengan energi positif adalah langkah pertama untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.
Dengan memberikan ruang bagi perasaan negatif dan mencari solusi yang konstruktif, perusahaan dapat membangun budaya yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan emosional karyawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja.