Faktor ini berperan besar dalam fenomena soft quitting, karena mereka lebih memilih untuk tidak terlalu terikat dan berusaha memenuhi ekspektasi tinggi yang seringkali tidak dihargai atau tidak sebanding dengan kompensasi.
Dampak Soft Quitting pada Dunia Kerja
Fenomena soft quitting membawa dampak signifikan bagi dunia kerja, baik bagi perusahaan maupun karyawan itu sendiri.
1. Dampak pada Produktivitas dan Kepuasan Kerja
Bagi perusahaan, soft quitting bisa menjadi indikasi masalah yang lebih besar dalam manajemen karyawan dan budaya perusahaan. Jika banyak pekerja memilih untuk bekerja hanya dengan “minimal effort”, hal ini bisa menurunkan tingkat produktivitas, kreativitas, dan inovasi dalam tim.
Di sisi lain, beberapa pekerja melaporkan bahwa mereka merasa lebih puas dan tidak terbebani dengan harapan yang berlebihan, yang dapat mengarah pada penurunan tingkat burnout dan peningkatan kepuasan kerja dalam jangka panjang.
2. Perubahan dalam Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan yang berusaha menarik dan mempertahankan pekerja muda harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Hal ini dapat mencakup penyediaan jadwal kerja yang lebih fleksibel, peluang untuk pengembangan pribadi dan profesional, serta budaya perusahaan yang lebih mendukung keseimbangan kehidupan kerja.
Menurut laporan dari Gallup, perusahaan yang menawarkan fleksibilitas waktu dan perhatian pada kesejahteraan karyawan cenderung memiliki tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi, terutama di kalangan pekerja muda.
3. Keterbukaan terhadap Freelance dan Pekerjaan Remote
Fenomena soft quitting juga mempercepat pergeseran menuju model kerja remote dan freelance. Banyak pekerja yang merasa lebih produktif dan puas ketika mereka bisa mengatur waktu mereka sendiri. Tren ini didorong oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan pekerja untuk terhubung dengan rekan kerja dan klien dari seluruh dunia tanpa harus hadir di kantor.
Menghadapi Soft Quitting: Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?
Bagi perusahaan yang ingin mencegah fenomena soft quitting atau menghadapinya dengan bijak, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
- Mendengarkan Karyawan: Membuka saluran komunikasi yang jelas dan terbuka dengan karyawan untuk memahami kebutuhan mereka, terutama terkait keseimbangan kerja-hidup.
- Menyediakan Fleksibilitas: Memberikan kebebasan dalam pengaturan waktu kerja dan lokasi kerja dapat meningkatkan kepuasan kerja.
- Meningkatkan Penghargaan dan Pengakuan: Memberikan penghargaan atas kontribusi karyawan dapat mengurangi rasa kelelahan dan ketidakpuasan.
- Mengutamakan Kesehatan Mental: Memberikan akses ke program kesehatan mental atau konseling untuk membantu karyawan menangani stres.
Fenomena soft quitting yang berkembang di kalangan Gen-Z dan milenial bukanlah sekadar tren sementara, melainkan refleksi dari perubahan besar dalam cara orang melihat pekerjaan dan kehidupan mereka. Generasi muda saat ini lebih memilih untuk menjaga keseimbangan hidup dan kesehatan mental mereka daripada terjebak dalam budaya kerja yang mengorbankan keduanya.