EkbisGaya Hidup

Flexing, Strategi Marketing Jitu atau Bumerang?

5
×

Flexing, Strategi Marketing Jitu atau Bumerang?

Sebarkan artikel ini
Flexing, Strategi Marketing Jitu atau Bumerang?
Flexing, Strategi Marketing Jitu atau Bumerang? Image by freepik

plbnews.web.id – Apa itu flexing? Istilah ini kian sering terdengar, terutama di kalangan anak muda dan dunia media sosial. Secara sederhana, flexing merujuk pada tindakan memamerkan pencapaian, kekayaan, atau gaya hidup untuk menunjukkan status sosial atau kesuksesan seseorang.

Meski awalnya populer di dunia personal branding, kini flexing juga mulai digunakan sebagai strategi pemasaran. Tapi, apakah pendekatan ini selalu efektif, atau justru berisiko menjadi bumerang bagi brand?

Mengapa Flexing Populer dalam Dunia Pemasaran?

Fenomena ini tidak lepas dari perkembangan media sosial sebagai sarana berbagi konten visual. Di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, banyak brand yang memanfaatkan tren ini untuk menarik perhatian audiens, khususnya generasi muda. Strategi flexing sering kali melibatkan:

  1. Menonjolkan Kesuksesan Perusahaan
    Brand kerap menunjukkan angka penjualan tinggi, kemitraan besar, atau penghargaan yang mereka raih. Tujuannya adalah membangun kepercayaan konsumen melalui citra kesuksesan.
  2. Menggunakan Influencer atau Figur Publik
    Influencer sering memamerkan barang mewah, pengalaman eksklusif, atau gaya hidup glamor untuk mempromosikan sebuah produk atau layanan. Ini menciptakan aspirasi di kalangan pengikut mereka.
  3. Konteks Kompetitif
    Dalam industri yang padat persaingan, flexing menjadi cara untuk menunjukkan keunggulan dibanding kompetitor. Semakin mencolok, semakin mudah brand tersebut diingat.
Baca Juga :  Apakah Media Sosial Membunuh Media Online dan Blog?

Efek Positif Flexing sebagai Strategi Pemasaran

Tidak dapat disangkal, ada alasan mengapa ini menjadi strategi yang cukup digemari. Ketika dilakukan dengan benar, flexing dapat membawa dampak positif seperti:

1. Meningkatkan Kesadaran Merek

Tampilan yang mencolok atau mewah secara alami menarik perhatian audiens. Ini membantu merek untuk tetap relevan dalam benak konsumen.

2. Membangun Citra Sukses

Memamerkan pencapaian dapat meningkatkan kepercayaan konsumen. Jika sebuah brand terlihat sukses, pelanggan cenderung mengasosiasikannya dengan kualitas produk atau layanan yang baik.

3. Menciptakan Aspirasi

Konsumen sering kali membeli produk bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena ingin mendapatkan gaya hidup atau status sosial yang ditawarkan brand tersebut.

Risiko di Balik Strategi Flexing

Meski terlihat menarik, ini juga memiliki sisi gelap yang berpotensi merugikan brand. Beberapa risiko yang perlu diperhatikan adalah:

Baca Juga :  Kesehatan Mental Remaja, Mengapa Mereka Merasa Berbeda?

1. Dituduh Palsu atau Berlebihan

Konsumen masa kini semakin kritis. Jika flexing terlihat terlalu berlebihan atau tidak sesuai realitas, audiens dapat kehilangan kepercayaan pada brand.

2. Kesan Tidak Empati

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, strategi ini bisa dianggap tidak sensitif. Pamer kekayaan atau kemewahan dapat menciptakan jarak antara brand dan konsumen.

3. Potensi Backlash di Media Sosial

Media sosial adalah pedang bermata dua. Jika ini tidak diterima dengan baik, brand bisa menghadapi kritik atau bahkan boikot dari audiens.

Kapan Flexing Efektif?

Flexing bisa menjadi strategi yang efektif jika dilakukan dengan cara yang autentik dan relevan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi:

  1. Kesesuaian dengan Audiens
    Pahami siapa target audiens Anda. Jika mereka menyukai gaya hidup mewah dan pencapaian besar, flexing mungkin dapat menarik perhatian mereka.
  2. Penyampaian yang Autentik
    Pastikan apa yang ditampilkan benar-benar mencerminkan nilai atau pencapaian brand. Jangan mencoba memanipulasi fakta hanya demi konten.
  3. Mengutamakan Cerita Dibalik Pencapaian
    Alih-alih sekadar memamerkan hasil, ceritakan proses di balik pencapaian tersebut. Ini dapat memberikan inspirasi sekaligus membangun koneksi emosional dengan audiens.
Baca Juga :  7 Penyebab Anda Selalu Lelah: Cegah Burnout Sekarang!

Studi Kasus: Flexing yang Berhasil dan Gagal

Berhasil: Tesla dan Elon Musk

Elon Musk sering kali menggunakan media sosial untuk menunjukkan kesuksesan Tesla, mulai dari laporan penjualan hingga inovasi teknologi terbaru. Meskipun terkesan “pamer”, strategi ini berhasil karena Musk dianggap autentik dan inovatif.

Gagal: Beberapa Influencer Lokal

Ada kasus di mana influencer memamerkan barang mewah untuk promosi, tetapi kemudian terbukti barang tersebut palsu. Alih-alih meningkatkan citra produk, strategi ini justru merusak reputasi brand yang mereka wakili.

Apakah Flexing Cocok untuk Brand Anda?

Sebagai strategi pemasaran bisa menjadi alat yang ampuh jika digunakan dengan hati-hati. Namun, penting untuk selalu mempertimbangkan konteks audiens dan citra brand yang ingin dibangun. Apakah flexing memberikan nilai tambah, atau malah mengundang kontroversi?