plbnews.web.id – Di era digital yang serba terhubung seperti sekarang, banyak orang cenderung menyalahkan media sosial sebagai sumber utama kecemasan di kalangan anak muda.
Namun, tahukah kamu bahwa kecemasan yang dirasakan oleh generasi muda sudah ada jauh sebelum Instagram, Twitter, atau TikTok menguasai kehidupan mereka?
Ya, kecemasan ini bukanlah fenomena baru yang muncul akibat pengaruh media sosial. Penelitian dan fakta sejarah menunjukkan bahwa perasaan cemas di kalangan anak muda sudah ada jauh sebelum dunia maya mulai menjadi bagian besar dari kehidupan mereka.
Peningkatan kecemasan di kalangan anak muda memang menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan adanya media sosial yang kerap dikaitkan dengan masalah kesehatan mental.
Tapi jika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan bahwa kecemasan ini memiliki akar yang lebih dalam dan jauh lebih kompleks.
Artikel ini akan mengulas berbagai bukti yang menunjukkan bahwa generasi muda sudah merasakan cemas jauh sebelum media sosial hadir dalam kehidupan mereka.
Kecemasan Sejak Dulu: Faktor Sosial yang Tak Terelakkan
Kecemasan pada anak muda bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tekanan sosial yang tidak pernah surut, meskipun zaman telah berubah.
Dalam sejarah, anak muda selalu menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka, baik itu dari keluarga, sekolah, atau lingkungan sosial mereka. Misalnya, pada abad ke-20, banyak anak muda yang merasa tertekan oleh tuntutan untuk mencapai kesuksesan di bidang akademis dan karier.
Anak muda yang tumbuh di zaman pasca Perang Dunia II merasakan kecemasan tentang masa depan yang tidak pasti, meskipun mereka tidak memiliki media sosial sebagai “sumber kecemasan” seperti yang banyak dikatakan saat ini.
Teori Psikologis yang Menunjukkan Kecemasan Sejak Dulu
Berdasarkan penelitian psikologi, perasaan cemas bukanlah sesuatu yang baru bagi anak muda. Bahkan, beberapa teori psikologi yang telah ada sejak awal abad ke-20 sudah membahas tentang kecemasan yang dialami oleh remaja.
Sebagai contoh, teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson menyatakan bahwa masa remaja adalah periode yang sangat krusial, penuh dengan pencarian identitas dan pencapaian otonomi.
Pada tahap ini, anak muda menghadapi konflik antara perasaan cemas dan kebutuhan untuk diterima oleh kelompok sosial mereka.
Erikson menyebutkan bahwa perasaan cemas pada masa remaja sangat dipengaruhi oleh tekanan sosial, seperti keinginan untuk diterima oleh teman sebaya dan keluarga, serta ketakutan akan penolakan.
Cemas karena perbandingan sosial dan kekhawatiran tentang masa depan sudah menjadi bagian dari kehidupan remaja jauh sebelum media sosial menjadi faktor yang memperburuk keadaan.
Faktor Ekonomi dan Sosial Sebelum Era Digital
Kecemasan di kalangan anak muda juga erat kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi pada masanya. Jika kita melihat lebih dekat, kita akan mendapati bahwa kecemasan yang dialami anak muda pada masa-masa tertentu dipengaruhi oleh masalah ekonomi yang sedang melanda.
Misalnya, pada masa resesi ekonomi di tahun 2008, banyak anak muda yang merasa cemas tentang masa depan mereka. Ketidakpastian ekonomi yang melanda dunia saat itu membuat banyak anak muda merasa terjebak, meskipun mereka belum mengenal konsep media sosial yang berkembang pesat beberapa tahun kemudian.
Dalam hal ini, kecemasan ekonomi telah menjadi masalah yang terus-menerus dihadapi oleh anak muda dari berbagai generasi.
Keterbatasan kesempatan kerja, tekanan untuk mandiri secara finansial, dan ketakutan tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua adalah masalah yang dihadapi oleh anak muda jauh sebelum smartphone dan platform media sosial ada.
Penelitian Tentang Kecemasan Anak Muda: Data dan Fakta
Salah satu studi yang cukup terkenal adalah penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), yang menunjukkan bahwa tingkat kecemasan di kalangan remaja telah meningkat secara signifikan sejak dekade 1980-an.
Penelitian ini tidak hanya menghubungkan kecemasan pada anak muda dengan adanya media sosial, tetapi juga dengan meningkatnya tekanan akademis dan sosial yang mereka hadapi.
Kecemasan terkait dengan ekspektasi yang tinggi dalam hal akademik dan karier sudah ada jauh sebelum media sosial menjadi populer.
Selain itu, sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Child Development pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kecemasan anak muda sering kali dipicu oleh kecemasan sosial dan perasaan tidak aman di dunia nyata.
Anak muda yang tumbuh besar pada tahun 1980-an dan 1990-an merasa cemas karena tuntutan sosial dan perubahan identitas, bahkan tanpa adanya media sosial.
Jadi, meskipun media sosial memang memberikan dampak terhadap kecemasan, itu hanya memperburuk kecemasan yang sudah ada sebelumnya.
Tekanan Sosial yang Tak Terhindarkan
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kecemasan pada anak muda adalah tekanan sosial. Anak muda, baik yang hidup di zaman sebelum media sosial maupun di era digital saat ini, selalu berusaha untuk diterima dalam kelompok mereka.
Dalam dunia yang serba terhubung ini, ekspektasi sosial semakin tinggi, terutama terkait dengan penampilan fisik, pencapaian akademik, dan prestasi pribadi. Namun, tekanan ini bukanlah hal baru.
Misalnya, di tahun 1980-an, di era ketika teknologi belum seperti sekarang, anak muda masih merasakan tekanan yang sama untuk terlihat “sempurna”.
Mereka merasa cemas tentang bagaimana mereka dipandang oleh teman-teman mereka, apakah mereka cukup populer, atau apakah mereka cukup berprestasi.
Tanpa adanya media sosial, perasaan ini hanya terfokus pada interaksi langsung, tetapi tetap saja menambah tingkat kecemasan mereka.
Menghadapi Kecemasan di Zaman Sekarang
Walaupun kita tahu bahwa kecemasan sudah ada jauh sebelum media sosial, kenyataannya adalah bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi telah memberikan dampak yang besar terhadap anak muda di era sekarang.
Media sosial, dengan segala kelebihannya, memberikan ruang yang lebih besar untuk anak muda berinteraksi dan membandingkan diri dengan orang lain, yang justru memperburuk perasaan cemas.
Perbandingan sosial yang dipicu oleh tampilan sempurna yang ditunjukkan di platform seperti Instagram sering kali membuat anak muda merasa tidak cukup baik.
Namun, penting untuk dipahami bahwa kecemasan bukanlah hal yang harus ditakuti atau dihindari sepenuhnya.
Kecemasan adalah reaksi alami terhadap tantangan dalam hidup, dan dengan pemahaman yang tepat, anak muda bisa belajar untuk menghadapinya dengan cara yang sehat.
Dukungan dari keluarga, teman, dan profesional kesehatan mental sangat penting untuk membantu anak muda mengelola perasaan cemas mereka.
Kecemasan pada anak muda bukanlah fenomena baru yang hanya muncul seiring dengan perkembangan media sosial. Sejak dulu, anak muda sudah merasakan perasaan cemas karena berbagai faktor sosial, ekonomi, dan psikologis.
Meskipun media sosial memang memperburuk perasaan tersebut, namun akar kecemasan yang dialami anak muda sudah ada jauh sebelumnya.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, diharapkan anak muda dapat belajar untuk mengelola kecemasan mereka dengan cara yang positif dan lebih terbuka dalam membicarakan perasaan mereka.
Dengan memahami bahwa kecemasan bukanlah masalah yang datang begitu saja karena teknologi, kita bisa melihat bahwa kecemasan adalah bagian dari perjalanan hidup setiap individu.
Menyadari hal ini akan membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri dan orang lain, serta memberikan ruang untuk berbicara lebih terbuka tentang isu kesehatan mental yang penting ini.