Nasional

COP29, Negara Berkembang Butuh Pendanaan Iklim Lebih Adil dan Tepat

×

COP29, Negara Berkembang Butuh Pendanaan Iklim Lebih Adil dan Tepat

Sebarkan artikel ini
COP29, Negara Berkembang Butuh Pendanaan Iklim Lebih Adil dan Tepat
COP29, Negara Berkembang Butuh Pendanaan Iklim Lebih Adil dan Tepat. Info Publik.

Jakarta,Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Ravindra Airlangga, menyampaikan pentingnya pendanaan iklim yang lebih mencerminkan biaya sesungguhnya (“true cost”) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.

Pernyataan tersebut diungkapkan dalam forum Parliamentary COP29 yang digelar di Baku, Azerbaijan, pada 17 November 2024.

Dalam Parliamentary COP29 tersebut, Ravindra menekankan bahwa negara-negara berkembang adalah pihak yang paling terdampak oleh perubahan iklim.

Meskipun kontribusi mereka terhadap emisi karbon relatif kecil, mereka justru menanggung dampak terbesar dari fenomena tersebut.

“Sebanyak 79 persen dari emisi CO₂ historis berasal dari segelintir negara maju. Namun, negara berkembang yang justru menanggung dampak terbesarnya,” ujar Ravindra, sebagaimana mengutip dari hukum/886726/bksap-dpr-ri-soroti-pentingnya-pendanaan-iklim-yang-mencerminkan-true-cost”>InfoPublik.

Kebutuhan Pendanaan Iklim yang Adil

Ravindra menggarisbawahi pentingnya komitmen pendanaan dari negara-negara maju untuk negara-negara berkembang. Komitmen ini, yang diprakarsai oleh UNFCCC, menjadi hal yang sangat krusial untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Baca Juga :  Indonesia Serius Berantas Perjudian Online, Kemenko Polkam Siap Tindak Tegas

Dengan dampak perubahan iklim yang semakin meluas, Ravindra menekankan perlunya dukungan pendanaan yang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan negara-negara berkembang.

Salah satu kekhawatiran utama yang disampaikan oleh Ravindra adalah prediksi dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, yang menyebutkan bahwa kerugian tahunan akibat perubahan iklim dapat mencapai hampir setengah dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2050.

“Dengan dampak yang semakin besar ini, negara-negara berkembang harus mendapatkan dukungan pendanaan iklim yang adil dan sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelasnya.

Komitmen Indonesia dalam Pengurangan Emisi

Sebagai bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim, Indonesia juga berkomitmen kuat untuk mengurangi emisi karbon. Berdasarkan Global Climate Atlas 2021, Indonesia berkontribusi sekitar 1,7 persen terhadap total emisi global.

Namun, Indonesia tetap memiliki target ambisius dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi hingga 31,89 persen dengan upaya mandiri, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Baca Juga :  Pemerintah Dorong Peluang Kerja Lebih Banyak bagi Penyandang Disabilitas

Ravindra menekankan bahwa dukungan pendanaan iklim dari negara maju sangat penting untuk mencapai target tersebut. Menurutnya, proyeksi kebutuhan pendanaan global untuk mengatasi perubahan iklim bisa mencapai 5,7 hingga 5,8 triliun dolar AS per tahun.

Dengan kebutuhan pendanaan yang sangat besar ini, Ravindra menyarankan agar mekanisme pendanaan iklim yang ada dapat mencerminkan “true cost” atau biaya sebenarnya, agar dapat memberikan dukungan yang lebih signifikan bagi negara-negara berkembang.

Instrumen Keuangan Inovatif untuk Pembiayaan Iklim

Dalam upayanya untuk mengatasi tantangan pendanaan iklim, Ravindra juga mengusulkan beberapa instrumen keuangan inovatif. Di antaranya adalah:

  • Climate Resilient Debt Clause: Klausul yang memungkinkan negara-negara berkembang menunda pembayaran utang mereka saat terjadi bencana terkait iklim.
  • Loss and Damage Fund: Dana yang dirancang untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi kerugian akibat bencana iklim yang tidak dapat diprediksi atau dihindari.
  • Carbon Credit Financing: Penggunaan mekanisme kredit karbon untuk pembiayaan proyek mitigasi iklim, yang bisa menjadi sumber pendanaan tambahan bagi negara berkembang.
Baca Juga :  Cegah Kenaikan Harga, Bapanas Tunjuk Daerah Tertentu untuk Penyaluran Beras SPHP

Selain itu, Ravindra juga mengusulkan pengembangan konsep Ecosystem as a Service. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan pasar global yang mendukung pelestarian lingkungan dan pengelolaan ekosistem dengan memberikan insentif kepada sektor publik dan memperkuat kapasitas negara-negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim.

Kerjasama Internasional

Melalui komitmen yang disampaikan dalam forum Parliamentary COP29, Ravindra berharap agar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat lebih siap dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Dengan adanya kerjasama internasional yang lebih kuat, diharapkan solusi kolektif yang adil dan berkelanjutan dapat tercapai untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global.

Sebagai penutup, Ravindra menegaskan bahwa negara-negara berkembang tidak boleh dibiarkan menghadapi dampak perubahan iklim sendirian. Kerjasama internasional dan komitmen pendanaan yang tepat waktu dan mencerminkan “true cost” sangat diperlukan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih siap menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.